JAKARTA, masa kini. Letnan Marinir Angga melamar jurnalis cantik Sari Nirmala yang akan bertugas mewawancarai capres. Ia ingin menyematkan sebentuk cincin yang masih belum bermata berlian. Sari menciumnya sebagai tanda persetujuan dan menganjurkannya pergi melamar ke orangtuanya.
Melompat ke dua belas tahun kemudian…
Jakarta, 2031. Penduduk bumi telah melampaui delapan miliar jiwa. Dunia menjadi kelewat padat dan kekurangan pangan, termasuk Republik Indonesia. Namun beberapa tokoh rakus terus menggendutkan perutnya pribadi.
Angga sudah menjadi anggota dewan dari Piranas, partai yang berkuasa. Hidup makmur berkelimpahan, di antara rakyat jelata yang menderita. Atasannya, Menteri Suganda, mempertemukannya dengan Presiden Diktator dan komplotannya yang korup. Angga ditugasi Misi Rahasia Tanpa Jejak untuk menumpas pihak oposisi, Reformis. Ia harus bekerja sama dengan Wisnu, Komandan Gerram, yang memimpin pasukan pembantai. Bahkan Wisnu mengandalkan algojo yang mengenakan jubah tak kasat mata, hingga bisa raib dari pandangan, di samping Kodiak, algojo robot.
Malangnya, Angga tertawan oleh Reformis, dan bertemu kembali dengan Sari yang disangkanya sudah tewas. Ternyata Sari telah mempunyai puteri, Dinda, yang bukan lain daripada darah daging Angga sendiri. Sari mengungkapkan kebobrokan rezim pemerintah hingga Angga berbalik membelot. Ia menghimpun empat mantan anak-buahnya; Oggi, Bara, Tino, dan Ethan, serta tokoh petualang misterius Spec, yang tangguh.
Berenam mereka melakukan perlawanan sengit, setelah markas rahasia Reformis dihancurkan Gerram. Angga memimpin peletonnya menyusup ke Istana, berhadapan langsung dengan pasukan canggih Wisnu dan rezim sang Diktator.
Rp 72,5 Miliar
Genre fiction-futuristik (fiksi aksi masa depan) termasuk langka digarap dalam perfilman Indonesia. Berbeda dengan film Hollywood seperti franchise Mad Max, Armageddon, Deep impact, dan Avatar. Masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan produksi lokal, antara lain adalah: The Raid 2: Berandal, 3 Alif Lam Mim, Bangkit, dan Rafathar. Kenapa demikian? Ya, tentu saja karena untuk mengkhayalkan situasi dan setting masa depan membutuhkan biaya yang sangat besar.
Untuk diketahui, bujet normal rata-rata sebuah film Indonesia standar berkisar pada angka Rp 3 Milliar. Itu untuk genre drama, komedi, dan horor. Memang ada yang dibuat dengan bujet lebih dari Rp 5 M. Bahkan film silat klasik Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Nagageni 212 yang berkongsi antara Life Like Pictures dengan 20th Century Fox (Amerika Serikat), berdana dua juta dollar alias Rp 29 M (kalau dihitung kurs AS $ 1 sama dengan Rp 14.500,-).
Nah, berapa bujet film Foxtrot Six? Produser Manoj Punjabi menjawab tanpa tedeng aling-aling, “Film action hybrid ini menghabiskan biaya lima juta dollar, atau sama dengan Rp 72,5 Miliar!”
Rekor produksi termahal dalam perfilman Indonesia sepanjang masa, setidaknya untuk produksi MD Pictures, yang telah membuat sekitar 100 judul film dan ribuan episode sinetron selama 17 tahun (didirikan Manoj bersama ayahnya, Dhamoo Punjabi, pada akhir tahun 2002).
Manoj tidak kepalang tanggung, menggandeng produser kondang Hollywood, Mario Kassar. Pada masa jayanya di era 1990-an, Kassar sukses besar lewat film-film legendaris; Rambo, Terminator, dan Basic Instinct.
Kassar adalah idola sineas muda Randy Korompis yang sudah berangan-angan menggarap film aksi berkualitas internasional ini sejak sembilan tahun lalu. Randy juga yang menghimpun para pemain, dimulai dari sang Letnan pemimpin pemberontak yang dipercayakan pada Oka Antara. Sebelumnya Oka sudah bermain mengesankan dalam The Raid 2:Berandal, dan Killer. Begitu pun dengan kekasihnya yang diperani Julie Estelle, sudah angkat nama sebagai cewek jagoan lewat The Raid 2: Berandal, Headshot, dan The Night Comes for Us.
Kelima anak buah sang Letnan adalah Verdi Soleman didapuk sebagai Oggi, dengan ibunya, diperani aktris watak Dayu Wijanto. Rio Dewanto sebagai Bara yang jago bergumul dengan tangan kosong. Tino yang oportunis oleh Arifin Putra, dan Ethan, si ahli komputer, diperani Mike Lewis. Chicco Jerikho sebagai tokoh misterius Spec yang tak pernah banyak bicara. Musuh bebuyutan mereka, Wisnu, dipercayakan pada aktor antagonis Edward Akbar. Sedangkan aktor senior Cok Simbara sebagai tokoh Menteri Suganda yang sengaja dikorbankan.
Kemungkinan besar karena ada kissing scene, maka LSF memberi label Untuk 21 Tahun ke Atas. Kassar sempat memprotes, “Seharusnya cukup Untuk 17 Tahun ke Atas. Banyak film impor yang vulgar adegannya toh tidak dilabel setinggi ini.”
Manoj menambahkan, “Untuk pemasaran di bioskop luar negeri, film ini dilabel Parental Guide, sama artinya dengan Untuk 13 Tahun ke Atas. Kami tidak mengerti dengan kriteria yang diberikan LSF.”
Ada dua adegan yang disisipkan setelah ending, kemungkinan besar sebagai pertanda kelak akan dibuat sequelnya, karena memang masih ada tokoh-tokoh yang belum jelas juntrungannya, entah menghilang ke mana.
Keunggulan film ini pada adegan-adegan yang memanfaatkan kecanggihan CGI, action, ledak-ledakan, baku tembak, baku hantam, yang nyaris tanpa jeda sepanjang durasi 90 menit. Yang terbayangkan adalah betapa berbahayanya bila sebuah negara dikuasai oleh rezim diktator dengan kekuatan militer yang menindas rakyat kelaparan. Bagaimanapun juga terasa kejanggalan ketika seantero dialog dalam film menggunakan bahasa Inggris. Sutradaranya berkilah, “Demi untuk menerobos pemasaran internasional maka film ini berbahasa Inggris keseluruhannya.”
Toh tetap terasa kejanggalan, ketika sang tokoh Presiden berpidato di depan ribuan rakyatnya dengan full English version. Sepanjang film dibubuhi subtitle, teks bahasa Indonesia, sebagaimana laiknya film impor. Demikian pun percakapan antar rakyat jelata, tiada yang menggunakan bahasa sehari-hari kita. Mohon bisa dimaklumi keanehan tersebut semata demi untuk kepentingan komersil. Alhasil ini memang produk dalam negeri dengan rasa Hollywood!